Minggu, 13 Agustus 2017

Menemukan "clock" SPM Dikti (Part 2)

(lihat Part 1 update)


SPMI sebagai Subsistem

Dalam SPM Dikti, SPMI adalah subsistem di antara subsistem lainnya, yaitu SPME (Sistem Penjaminan Mutu Eksternal) yang dikenal dengan akreditasi yang dilaksanakan oleh BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi) dan atau LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri) serta subsistem Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti). Sama halnya dengan sebuah sistem lainnya, satu subsistem dengan lain saling berketergantungan karena masukan dari subsistem satu adalah luaran dari subsistem lainnya, seperti sistem pernafasan kita dengan sistem peredaraan darah tubuh kita, luaran dari sistem pernafasan berupa oksigen mengalir juga dalam sistem peredaran darah diangkut bahkan sampai ke sistem saraf di otak kita.
Pendek kata sistem bekerja karena semua subsistem di dalamnya bersinergi, saling memberi dan saling menerima, satu subsistem dan subsistem lainnya adalah bagian yang tidak terpisahkan yang bekerja dalam satu kendali yang terus menerus bekerja menyelaraskan gerak dan langkah sistem secara keseluruhan.


Clock sebagai Penyelaras Sistem

Clock yang berjalan dalam sistem haruslah clock yang sama, clock yang terhubung ke semua subsistem. Clock dengan frekuensi yang sama untuk men-trigger gerak langkah data dan perintah dalam sebuah sistem, bahkan di beberapa titik dalam sistem, apabila clock yang melemah setelah berjalan jauh dalam sistem diperkuat lagi sehingga bentuk sinyal, kekuatan dan waktu impulse-nya kembali ke bentuk semula persis dengan clock di awal sistem. Mengapa? Karena trigger yang dimengerti sistem adalah trigger yang standar.
Di sinilah peran unit clock ( yang masih kita cari) dalam SPM Dikti harus selalu hadir di SPMI, SPME, dan PD Dikti dengan bentuk data dan perintah yang sama, tidak ambigu apalagi berbeda bentuk. Mengapa? karena akan berakibat mandegnya luaran dan masukan yang saling mengait dalam SPM Dikti. Walhasil luaran sistem yang bernama SPM Dikti, atau katakan sebagai luaran pendidikan tinggi alias mutu tidak bisa ditebak wujudnya dan dirasakan manfaatnya, dan bisa jadi hanya di bungkusnya saja berwujud namun isinya kosong. Apabila SPMI, BAN-PT, dan PD Dikti tidak bersinergi, tidak dalam satu bahasa, tidak satu gerak langkah, tidak dalam satu frekuensi kerja, maka bisa dipastikan luaran pendidikan tinggi akan banyak anomali, tidak sesuai dengan tujuannya. Sinergi ketiga subsistem pendidikan tinggi tersebut bisa disebut fardlu ‘ain ( wajib dilakukan ketiganya) bukan fardlu kifayah (alias wajib umum, kalau satu sudah menjalankan maka lainnya gugur kewajiban).


  
Mutu adalah Kesuaian dengan Tujuan

Apakah baju jas dari bahan mahal dan dijahit di sebuah butik terkenal serta merta kita katakan jasnya bermutu? Ketika saya hanya akan menghadiri sebuah hajatan kecil di pelosok kampung dan memakai jas tersebut, maka mutu jas tersebut jadi “hilang” karena tidak cocok dengan situasi dan tempatnya, bahkan bisa jadi bahan tertawaan tamu yang lain. Andai saya cukup berkemeja batik, maka penampilan saya sudah termasuk bagus dan cocok atau sesuai dengan tempatnya.
Sebuah kampus di daerah dengan potensi alam melimpah, misalnya rumput laut, tiba-tiba membuka program studi animasi atau informatika, bukannya tidak boleh tapi dari segi kemanfaatan maka yang bisa dikatakan adalah kurang bermanfaat karena tidak langsung menyentuh kebutuhan masyarakat dan  tidak ikut menyelesaiakan masalah di daerahnya, misalnya problem-problem terkait pembudidayaan rumput laut seperti masalah pemasaran, perubahan iklim, fabrikasi dan kemasan dan lain-lain. Bisa jagi mungkin hanya karena melihat booming-nya jurusan informatika, maka kampus berharap lulusannya bisa cepat bekerja di bidang teknologi informasi, sementara tenaga dosen dan prasarana tidak layak dan bisa dipastikan lulusan tidak ada kompetitif dengan lulusan kampus lain yang berada di kota-kota besar. Sementara sumberdaya dan tempat praktik yang jelas ada di daerahnya tidak dimanfaatkan, padahal kalau saja dibuka jurusan terkait budidaya rumput laut dan berhasil dengan baik, maka tidak mustahil mahasiswa dari daerah lain bahkan dari negara lain yang tidak memiliki tempat praktik alami akan datang berbondong-bondong ke kampus tersebut.


Feed Back dari Pemangku Kepentingan

Seperti saya sampaikan di awal tulisan (part 1), salah satu yang harus ada dalam sebuah sistem yang baik adalah adanya feed back. Maka luaran pendidikan tinggi, yaitu lulusan yang bermutu perlu ada feed back dari para pemangku kepentingan, misalnya salah satunya adalah dunia industri. Sejauh mana lulusan sebuah peguruan tinggi kompetensinya memenihi kebutuhan penggunanya, maka perlu pihak perguruan tinggi perlu berkomunikasi dengan pihak pengguna (baca industri). Perguruan tinggi bisa meminta masukan apa-apa kekurangan dari para lulusannya dan apa-apa yang perlu diperbaiki dan menanyakan kompetensi atau kemampuan seperti apa yang sekarang dibutuhkan oleh industri agar lulusannya sesuai dengan kebutuhan industri. Perguruan tinggi tidak boleh diam dan merasa sudah memberikan pendidikan yang baik bagi mahasiswanya. Mengapa? Karena kebutuhan industri terus bergerak sesuai dengan kebutuhan manusia modern di zamannya apalagi didorong dengan teknologi informasi. Dunia industri harus adaptif memenuhi kebutuhan manusia di zamannya, begitu juga seharusnya dunia pendidikan tinggi seharusnya juga terus bergerak dan adaptif menghasilkan lulusan yang dapat memenuhi kebutuhan industri. Jika tidak, bisa ditebak lulusan perguruan tinggi akan tidak kompetitif dan kalah bersaing dengan yang lain. Maka pilihan satu-satunya adalah perguruan tinggi bermutu atau mati!

Senin, 31 Juli 2017

Menemukan “clock” SPM Dikti (Part 1)


Black Box
Dalam dunia elektronika kalau kita ingin merancang sebuah sistem elektronik biasanya kita andaikan sistem tsb. sebagai sebuah kotak hitam (black box), karena kita belum tahu seperti apa detail komponen dalam sistem yang akan kita bangun, kita hanya tahu inputnya apa dan output yang diinginkan seperti apa.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sebagai sebuah sistem juga bisa juga kita bayangkan seperti black box di atas untuk menganalisa sejauh mana antara input dan luaran yg diinginkan dengan kenyataannya di lapangan.


Filter
Sebaik apapun sebuah sistem kita rancang bila input yang masuk ke dalam sistem adalah sebarang input maka sistem tidak akan menghasilkan luaran yang kita rencanakan, sistem tidak bisa bekerja optimal dan bisa juga lumpuh. Maka kita butuh filter atau penapis sebelum input masuk ke dalam sistem untuk menapis masukan. Hanya masukan yang sesuai dengan kriteria saja yang bisa masuk dalam sistem agar sistem bekerja optimal dan luarannya sesuai dengan harapan. Civitas akademika yang terlibat dalam business process di perguruan tinggi harus ditapis agar luarannya sesuai dengan perencanaan, mulai dari admisi peserta didik, dosen dan tenaga kependidikan, sampai personil cleaning service dan security...bila perlu penjual makanan di kantinpun harus ditapis untuk menghasilkan luaran yang bermutu di semua lini.



Feedback
Penyimpangan luaran dari yang direncanakan sebenarnya bisa saja terjadi dalam sebuah sistem, bisa karena faktor internal komponen dalam sistem yang kinerjanya menurun seiring waktu atau bisa saja karena faktor eksternal seperti suhu ruangan yang tidak sesuai dengan perencanaan atau juga karena interferensi sistem lain, dll. Untuk mengoreksi penyimpangan luaran dalam sistem maka diperlukan feedback (umpan balik) pada sistem melalui sebuah unit sistem tersendiri di luar SPMI. Feedback akan bekerja menyelaraskan antara luaran nyata  dengan luaran yang diinginkan secara terus menerus sampai tidak ada lagi penyimpangan luaran. Unit feedback harus banyak belanja ide dan belajar menyerap aneka masukan dari luar untuk perbaikan luaran. SPMI harus terus berbenah diri agar luarannya tetap cocok atau sesuai dengan kebutuhan stakeholder, misalnya dunia industri. Perguruan tinggi harus menghasilkan lulusan yang cocok untuk dengan tujuan pendiriannya.



Gain
Setelah sebuah sistem bisa bekerja mandiri, bisa mengoreksi penyimpangan dan bisa menghasilkan luaran yang direncanakan, maka terkadang kita juga menginginkan agar sistem semakin menghasilkan daya yang lebih besar, luaran bisa dibesarkan sesuai dengan kebutuhan. Gain atau penguatan perlu dipasang dalam unit feedback, gain dirancang adjustable, bisa diatur sekehendak kita bisa 2x, 3x dst. Ketika visi misi peguruan tinggi berubah, SPMI harusnya bisa disetel agar luarannya mudah diatur seiring dan sejalan dengan perubahan. Semuanya akan jadi mudah kalau setiap langkah sudah ada standarnya. Mau naik 2x lipat outputnya, maka semua perangkat input dan langkah sesudahnya bisa dengan mudah disesuaikan. SPMI yang adaptif!




Clock
Sistem hanya sebatas sistem belaka, tidak akan bisa bekerja tanpa adanya “clock” dalam sistem. Clock layaknya seperti detak jantung yang menghidupkan sebuah sistem. Clock-lah yang men-trigger keseluruhan gerak sistem, nafasnya sebuah sistem. Clock menggerakkan setiap perintah dan membawa setiap data yang akan dieksekusi dalam sebuah sistem yang berbasis hitungan dan data. No Clock No Life!


SPMI layaknya sebuah sistem “black box”, kita perlu tahu apakah sudah dilengkapi dengan filter, feedback, gain dan clock? Andai tidak ada filter, feed back, dan gain masihlah bisa dikatakan sebagai sebuah sistem, namun kalau tidak ada clock-nya alias tidak ada detak jantungnya, maka layak sistemnya disebut sebagai zombie, tidak ada kehidupan di SPMI.

Alhasil SPMI di lapangan seperti mayat hidup, inputnya tidak jelas dan akhinrnya luaran SPMI tidak seperti yang diharapakan bahkan ditengarai ada anomali dan penyimpangan.

Clock juga bisa diartikan ruh, SPMI bukan saja kehilangan ruhnya tapi tanpa ruh sejak awal konsepnya. Kalau begitu, apa dan dimana ruh SPMI? Kalau dalam sistem elektronika, clock dihasilkan oleh sebuah komponen Xtal (baca Kristal) yang mengenerate “detak” dalam satuan seperdetik hertz, detak disambungkan dengan “jantung” sistem, misalnya Central Processing Unit (CPU) dalam rangkaian sistem microcomputer atau sejenisnya dan juga disambungkan dengan komponen aktifnya lain agar terjadi sinkronisasi “gerak” dalam mengeksekusi rangkaian perintah dan aliran data, seperti memori (RAM dan ROM) dan perangkat input-output sistem (PPI dan atau PIO).



Lalu manakah clock dimaksud dalam SPMI? Mana ruh SPMI? Siapa?





tunggu lanjutannya part 2....

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sebagai “Jalan Lurus”

Jalan Berliku
Memperkenalkan SPMI sebagai sebuah sistem penjaminan mutu internal di perguruan tinggi tidaklah mudah di kala banyak perguruan tinggi yang kadung berjalan dengan standar mereka sendiri atau standar dari luar negeri seperti ISO. Berbagai pertanyaan yang belum terjawab dan kesimpang-siuran informasi kerap membuat perguruan tinggi galau dan merasa tidak ada jalan keluar, di satu sisi ingin memenuhi aturan pemerintah sesuai UU Dikti sementara di sisi lain business process di perguruan tinggi sudah berjalan dengan standar yang sudah ada. Apalagi kalau sudah menyangkut akreditasi, perguruan tinggi selama ini lebih pragmatis lagi, memilih jalan pintas dengan pelatihan pengisian “borang” akreditasi hanya saat akan melakukan re-akreditasi dengan aneka jalan pintasnya, setelah itu perguruan tinggi “tidur” sampai waktunya mau akreditasi lagi.


Dimana Ada Kemauan Pasti Ada Jalan
Sesungguhnya perguruan tinggi tidaklah perlu bingung mengimplementasikan SPMI sementara perguruan tinggi sudah memiliki standar seperti ISO atau standar dari BAN-PT atau standard lainnya, perguruan tinggi tinggal menjadikan SN Dikti sebagai standar minimal dan ditambah dengan standar yang lain yang dibutuhkan sesuai dengan visi misi perguruan tinggi masing-masing. Standar baru inilah yang selanjutnya ditetapkan dan digunakan perguruan tinggi yang dikenal sebagai Standar Dikti yang ditetapkan perguruan tinggi (sebut saja standar internal). Nah, SPMI sebagai sebuah sistem penjaminan mutu internal mempergunakan standar internal ini dalam menjalankan siklus hidupnya, P(enetapan)P(elaksanaan)E(valuasi)P(engendalian)P(eningkatan). Tidaklah sulit, namun di lapangan masih banyak kebingungan terkait macam-macam standar yang ada, apalagi kalau melihat perbedaan standar yang dipakai waktu akreditasi. “Kami bingung, pakai standar yang mana?”, kalimat ini yang sering terdengar saat diseminasi ataupun pelatihan SPMI.



SPMI = Jalan Lurus Bagi PT
Sebagai sebuah sistem, SPMI layak disebut satu-satunya mazhab penjaminan mutu internal (IQA, internal Quality Assurance) yang seharusnya dianut dan dipergunakan di perguruan tinggi kita. Bagi perguruan tinggi yang sudah mapan seperti UGM, ITB, dan lainnya, SPMI sebagai sebuah sistem bisa jadi sudah melebur dan kasat mata karena jaminan mutu sudah melekat dalam aneka aktivitas pergururan tingginya. Bisa jadi bermacam standar digunakan dalam rangka menaikkan mutu perguruan tingginya, apalagi kalau disesuaikan dengan visi misi perguruan tinggi, misalnya menuju world class university. Namun bagi perguruan tinggi yang masih merangkak dan berusaha menemukan jalan menuju budaya mutu, maka SPMI masih perlu diwujudkan dalam bentuk yang maujud, ada bentuk amalannya. Petunjuk-petunjuk di dokumen SPMI mulai dari dokumen kebijakan, dokumen standar, dokumen manual dan bahkan aneka formulir masih sangat diperlukan dalam membimbing perguruan tinggi untuk melewati tahap demi tahap siklus hidup SPMI yaitu PPEPP. Pendek kata ibarat sebuah jalan, SPMI adalah shirathal mustaqim bagi perguruan tinggi agar selamat dan sampai di tujuan sesuai dengan visi misi perguruan tingginya. Jalan lurus agar perguruan tinggi mendapatkan nikmat-nikmat seperti nikmat yang telah direngkuh perguruan tinggi lain dan bukan azab seperti yang ditimpakan pada perguruan tinggi yang hidup segan dan matipun tak mau. (Masluhin Hajaz, Kasi Revitalisasi Program, Penjamu- Belmawa)